Sabtu, 19 Desember 2009

Makalah anak jalanan

PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK JALANAN

Setiap tanggal 23 Juli telah ditetapkan sebagai Hari Anak Nasional. Momentum seperti ini seharusnya bisa dijadikan sebagai bahan refleksi terhadap dunia anak terutama mereka yang terpinggirkan. Tak jarang anak-anak dari keluarga tak mampu sering dipaksa untuk secepatnya menjadi dewasa dengan beban tanggung jawab ekonomi keluarga secara berlebihan sehingga mereka tak sempat menikmati masa kanak-kanak yang ceria dan menyenangkan. Di sudut-sudut kota pun ada banyak anak-anak jalanan. Anak jalanan, agaknya masih menjadi salah satu problem klasik negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia. Kehadiran mereka di sudut-sudut kota yang pengap dan kumuh bisa jadi sangat erat kaitannya dengan jeratan kemiskinan yang menimpa orang tuanya. Siapakah mereka dan bagaimana memberi perlindungan kepada mereka?

Menurut Wikipedia Bahasa Indonesia (2009) anak jalanan adalah sebuah istilah umum yang mengacu pada anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan, namun masih memiliki hubungan dengan keluarganya. Ada dua kelompok anak jalanan yaitu mereka yang menghabiskan seluruh waktunya di jalanan dan tidak mempunyai keluarga serta mereka yang masih mempunyai keluarga. Menurut Shalahuddin (2000), anak jalanan merupakan seseorang yang berumur di bawah 18 tahun yang menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya di jalanan dengan melakukan kegiatan-kegiatan guna mendapatkan uang atau mempertahankan hidupnya. Sementara itu menurut M. Ishaq (2000), ada tiga ketegori kegiatan anak jalanan, yakni : (1) mencari kepuasan; (2) mengais nafkah; dan (3) tindakan asusila. Kegiatan anak jalanan itu erat kaitannya dengan tempat di mana mereka beroperasi yaitu di alun-alun, lampu lalu lintas, stasiun kereta api, terminal, pasar, pertokoan, bahkan dalam bis kota. Pada umumnya mereka menjadi seorang pengemis atau pengamen yang mencari rejeki dengan cara meminta sesuatu kepada orang lain.

Inilah salah satu wajah anak-anak di Indonesia yang kurang menggembirakan masa depannya. Mereka berasal dari keluarga yang miskin dan ekonomi lemah. Mereka tumbuh dan berkembang dengan latar belakang kehidupan jalanan dan yang akrab dengan kemiskinan, kejahatan, obat terlarang, sex bebas, penyakit menular, dsb. Kondisi-kondisi ini dapat membuat mereka berperilaku negatif dan dipandang rendah oleh sebagian masyarkat. Dari hati yang paling dalam kiranya tidak ada seorang pun dari antara mereka bercita-cita menjadi anak jalanan. Dalam pasal 34 UUD 1945: “Fakir miskin dan anak anak terlantar dipelihara oleh negara.” Di sini sangat jelas bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk memelihara dan melindungi anak terlantar termasuk anak jalanan. Tanggung jawab ini bukan hanya pada pemerintah tetapi juga masyarakat yang bersentuhan langsung dengan mereka.

Menguak kehidupan anak jalanan terkesan seperti membuka lembaran hitam perjalanan manusia. Anak-anak yang selayaknya menikmati dunia kanak-kanaknya dengan belajar, berkreasi, mendapat bimbingan dan kasih sayang keluarga, serta berkembang secara wajar seiring dengan pertumbuhan usianya, nyatanya berada dalam situasi yang jauh berbeda. Anak-anak telah terpaksa atau dipaksa untuk mengarungi kehidupan yang sangat berat, syarat konflik, penuh dengan kekerasan dan eksploitasi. Mereka harus berposisi sebagai orang dewasa kecil yang berjuang menapaki hidup untuk memperoleh nafkah bagi dirinya dan keluarganya, walaupun terkadang berbagai ancaman membayangi kehidupan mereka. Lebih jauh Kindervatter (1979:13), anak jalanan adalah anak yang terkategori tak berdaya. Mereka merupakan korban berbagai penyimpangan dari oknum-oknum yang tak bertanggung jawab.

Situasi kehidupan anak jalanan sebagaimana tergambar di atas terasa jauh sekali dengan semangat kehidupan anak-anak yang dirumuskan dalam Konvensi Internasional tentang Hak Anak (KHA) yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Pasal 4 menyatakan bahwa “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Pasal 55 ayat (1) menyatakan bahwa “Pemerintah wajib menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga.”

Ini berarti Indonesia telah mengikatkan diri secara yuridis untuk memenuhi ketentuan-ketentuan yang ada dalam konvensi tersebut. Salah satunya adalah hak atas pendidikan waktu luang dan kegiatan budaya. Maka pertanyaan penting yang layak diajukan adalah sejauh mana pemerintah telah melaksanakan ketentuan tersebut terhadap anak jalanan? Mengkaitkan kandungan hak-hak anak sebagaimana yang tercantum dalam konvensi tersebut dengan realitas yang ada, maka akan terlihat suatu kesenjangan yang cukup tinggi. Penghormatan negara atas hak-hak anak jalanan dinilai masih sangat minim, bahkan pada kebijakan-kebijakan tertentu seperti razia-razia dan penggusuran yang sarat dengan nuansa kekerasan kerapkali dinilai melakukan pelanggaran terhadap hak-hak anak jalanan. Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam rangka memenuhi hak-hak anak jalanan harus senantiasa ditingkatkan. Hal ini mengingat anak sebagai aset dan generasi penerus bangsa. Salah satunya adalah dengan meningkatkan pelayanan pendidikan bagi anak-anak jalanan, seperti yang diamanatkan oleh pasal 31 UUD 45: “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran dan pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang diatur dengan undang-undang.”
Pendidikan yang dimaksudkan di sini adalah pendidikan formal sebagaimana yang dicanangkan pemerintah dalam Gerakan Wajib Belajar 9 tahun dan tentu saja dengan biaya pendidikan murah dan terjangkau bagi anak-anak jalanan terutama dari keluarga miskin.Selain pendidikan formal, pemerintah juga sebaiknya meningkatkan pembinaan keterampilan sebagai sebuah bentuk pendidikan non formal bagi anak-anak jalanan, diantaranya dengan cara memaksimalkan fungsi rumah singgah sebagai tempat melatih keterampilan mereka. Dengan adanya bekal keterampilan ini, anak-anak jalanan akan mempunyai modal untuk bekerja yang lebih baik, tanpa harus mengamen atau mengemis lagi. Untuk itu pemerintah harus mengalokasikan dana yang lebih besar bagi sektor pendidikan. Subsidi BBM yang telah dicabut, diharapkan dapat teralokasikan dengan baik ke sektor ini.

Semua ini harus menjadi perhatian bagi kita semua dan pemerintah khususnya, sehingga anak-anak yang biasa mangkal di lampu merah, mall, terminal, pasar dan sebagainya pada jam-jam sekolah, kini bisa menikmati bangku sekolah. Dengan masuknya anak-anak jalanan ke bangku sekolah, maka hal ini akan mengurangi jumlah anak yang tidak sekolah dan yang putus sekolah. Mari kita beri kesempatan anak-anak jalanan untuk memperoleh kesempatan mendapat pendidikan yang sama dengan anak-anak lainnya. Semoga mereka bisa melihat masa depan penuh harapan. Apakah dalam pendidikan Budi Mulia mereka ini juga mendapat tempat?

Daftar Pustaka

Ishaq, M. (1998). "Pengembangan Modul Literasi Jalanan untuk Peningkatan Kemampuan Hidup Bermasyarakat Anak-anak Jalanan". Makalah. Lokakarya Modul Literasi Jalanan di BPKB Jayagiri-Lembang, 24-25 Maret 1998. Bandung : Yayasan Bahtera-
Unicef.

Kindervater, S. (1979). National Education as An Empowering Process. Massachussetts:
Center for International Education University of Massachussetts.

Shalahuddin (Ed.). 2000. Rekaman Dialog Yayasan Setara Yayasan dengan Pemda, Poltabes,
dan DPRD kotamadya Semarang. Yayasan Setara. Semarang.





Identitas Pribadi

Saya berasal dari Sungailiat, Propinsi Bangka Belitung. Namun sudah lama saya meninggalkan Pulau Bangka, karena tugas saya berpindah-pindah. Empat tahun terakhir saya bertugas di Ethiopia dan sejak bulan April 2009 saya kembali ke tanah air. Saat ini
saya adalah mahasiswa S2 MKPP UMM, yang beralamat di Jalan Bandung, Malang. Sementara saya tinggal di Lawang, sebuah kota kecil sekitar 20 km dari Kota Malang.